Pages

Senin, 28 November 2011

Mari Menata Ulang Pola Kehidupan

Alkisah, suatu ketika ada seorang tabi’in bernama Tsabit bin Amir bin Abdullah bin Zubair jatuh sakit. Saat mendengar panggilan adzan shalat Maghrib, ia berkata kepada anak-anaknya, Bawalah aku ke masjid ! Anak-anaknya menjawab : Engkau sedang sakit ! Allah memaafkanmu. Ia kembali berkata, Laa ilaaha illallah ! Aku mendengar seruan hayya ‘ala ash-shalah hayya ‘ala al-falah ! dan aku tidak menjawab seruan itu? Demi Allah, Bawalah aku ke masjid. Mereka pun akhirnya membawa ayahnya ke masjid. Ketika sampai pada sujud terakhir dalam shalat maghrib itu, Allah mencabut nyawanya.

Sebagian ulama ada yang menceritakan bahwa lelaki tersebut ketika melakukan shalat shubuh selalu berdoa, Ya Allah, aku memohon kematian yang baik pada-MU. Lalu ia ditanya apa maksud dari kematian yang baik yang ia mohon dalam potongan doanya itu adalah kematian saat bersujud.

Kematian menjemput siapa saja tanpa memandang bulu, masa ajal tiba adalah rahasia dari-Nya, agar manusia siap menghadapinya setiap saat. Siapapun tidak bisa menjamin selamat dalam mabuk kematian (sakaratul maut). Kematian yang indah adalah ketika bersujud, baca al-quran, berjihad di jalan Allah SWT, di majlis ta’lim, majlis zikir dan majlis shalat jamaah. Orang akan mengakhiri kehidupannya berbanding lurus dengan hobinya di dunia. Maka, kita perlu selektif dalam memilih hobi (man syabba, syaaba ‘alaih).

Menata Ulang Pola Hidup
Suatu yang paling mahal dalam kehidupan kita adalah kesadaran tentang misi kehidupan di dunia ini. Tiada kata terlambat, sekalipun waktu demikian cepat, yang berlalu tidak akan kembali. Jangan kita biarkan kehidupan kita ini sia-sia belaka. Hanya memburu dunia, memarginalkan kehidupan akhirat.

Pernahkah kita membayangkan, berapa lamakah umat akhir zaman ini menikmati kehidupannya yang fana ini?

Kehidupan di dunia ini bagaikan berteduh di bawah pohon (halte) untuk menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan kehidupan yang jauh. Atau bagaikan mampir untuk membasahi kerongkongan yang sedang kering, karena dahaga.

Dalam ayat di atas disebutkan 1 hari menurut perhitungan Allah SWT adalah 1000 tahun menurut perhitungan kita. Berarti kita hidup tidak lebih dari 1/10 hari menurut perhitungan-Nya. Sekarang kita mencoba untuk mengkalkulasi. Dengan cara ini semoga muncul kesadaran baru untuk tajdidul iman, tajdidul ‘ibadah dan tajdidul akhlaq, tajdidul jihad wal ijtihad wal mujahadah.

Dalam sebuah firmannya, Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman : "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al-Mukminun (23) : 112-114).

Kesimpulannya, sesungguhnya kehidupan di dunia ini --yang seolah kita persepsikan panjang-- hakikatnya sangat singkat. Alangkah sia-sianya jika kita gunakan hanya untuk hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ibadah di jalan Allah.

Meminjam istilah Hasan Al Banna, barangsiapa yang mengisi waktunya hanya untuk bersenda gurau berarti melupakan misi kehidupannya. Mudah-mudakan, kita bisa memanfaatkan kesempatan hidup ini jauh lebih baik lagi.*